Subsidi BBM dan Pencemaran Udara

||lingkungan||

Akhir-akhir ini Mat Solar semakin sering tampil di televisi. Bukan hanya di sinetron “Bajaj Bajuri” tujuh hari seminggu dan tampil bersama Oneng di sejumlah iklan, tapi juga tampil bersama Bolot dalam kampanye pengurangan subsidi BBM. Dalam kampanye tersebut, “Bang Juri” mengingatkan masyarakat bahwa subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati oleh “orang kaya” dan pengurangan subsidi tersebut dialihkan untuk alokasi yang berkaitan langsung dengan rakyat kecil seperti pendidikan dan kesehatan.

Dengan alasan tersebut pemerintah memang berencana menaikkan harga BBM di tahun 2005 ini. Sebelumnya, Pertamina sebagai produsen menaikkan harga elpiji, Pertamax, dan Pertamax Plus terhitung mulai tanggal 19 Desember 2004. Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menyatakan bahwa pemerintah tidak ikut campur dalam kenaikan itu karena ketiga produk tersebut tidak disubsidi dan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar (Kompas, 20/12/2004). Karena ketiga produk tersebut lebih banyak dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi, pemerintah memang beranggapan bahwa tidak perlu diberlakukan subsidi.

Tepatkah kebijakan ini? Dengan harga Pertamax Rp 2450/liter dan Pertamax Plus Rp 2750/liter (sebelum dinaikkan) sepintas alasan di atas cukup dapat diterima. Apalagi dengan harga saat ini sebesar Rp 4000/liter (Pertamax) dan Rp 4250/liter (Pertamax Plus). Tapi jika dicermati, ada sisi lain yang diabaikan (atau memang tidak pernah diperhatikan) oleh pemerintah.

Pertamina mengklaim Pertamax dan Pertamax Plus sebagai BBM yang berkualitas tinggi yang mendapat rekomendasi dari beberapa lembaga internasional termasuk Worldwide Fuel Charter (WFC). Kedua produk ini juga tidak mengandung timbal (Pb) dan menghasilkan emisi NOx dan COx yang lebih kecil dari BBM jenis lain (Pertamina Cybernews). Hal ini berarti Pertamax dan Pertamax Plus adalah BBM yang lebih ramah lingkungan dibandingkan produk Pertamina lainnya seperti Premium.

Saat ini tingkat konsumsi Pertamax dan Pertamax Plus hanya 650.000 kiloliter per tahun sedangkan Premium mencapai 15,1 juta kiloliter per tahun (BUMN Online). Dengan tingkat konsumsi Premium tersebut, di mana tiap liter Premium rata-rata mengandung Pb sebesar 0,12 gram, maka tiap tahunnya Pb yang diemisikan ke udara adalah sekitar 1090 ton[1]. Untuk Jakarta saja, konsumsi Premium rata-rata diperkirakan sebesar 8500 kiloliter per hari atau atau setara dengan emisi 612 kg Pb/hari. Kontribusi emisi Pb sebesar ini terhadap konsentrasi Pb di atmosfer dapat mencapai 2,01 μg/m3[2]. Sebuah angka yang cukup besar karena Baku Mutu Udara untuk Pb adalah sebesar 2 μg/m3.

Melalui sistem pernapasan, Pb dapat diserap oleh darah sehingga tersebar ke seluruh tubuh. Pb dapat mengakibatkan anemia, gangguan pada sistem saraf, pendengaran, dan pertumbuhan, impotensi, dan gangguan pada kehamilan dan janin. Anak-anak merupakan kelompok yang lebih rentan terhadap Pb. Kandungan Pb dalam darah sebesar 10 μg/dL dapat mengakibatkan penurunan IQ sebesar 2,5 poin. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa tidak ada ambang batas bagi pencemaran Pb karena sifatnya yang akumulatif.

Penelitian dari World Bank (1993) mengestimasikan biaya kesehatan akibat pencemaran udara pada tahun 2008 akan mencapai US$ 222 juta. Untuk Jakarta saja, valuasi data pencemaran Pb pada tahun 1999 menghasilkan angka US$ 106 juta atau sekitar 954 miliar rupiah per tahun.

Mengharapkan pemerintah mensubsidi Pertamax dan Pertamax Plus agar harganya terjangkau masyarakat agaknya mustahil. Mengharapkan masyarakat beralih dari Premium dan membeli Pertamax Plus seharga Rp 4.250/liter agaknya lebih mustahil lagi. Meskipun demikian, masalah pencemaran udara tentunya tidak boleh diabaikan begitu saja. Praktek di berbagai negara menunjukkan adanya korelasi signifikan antara penggunaan bensin tanpa timbal dengan penurunan konsentrasi Pb di atmosfer. Pemerintah seharusnya mempunyai goodwill untuk menekan tingkat pencemaran melalui penyediaan bahan bakar ramah lingkungan yang terjangkau.

Untuk jangka menengah dan panjang, skema yang lebih integratif diperlukan untuk menekan konsumsi BBM sekaligus menurunkan tingkat pencemaran udara. Pengembangan sistem transportasi massal yang efisien, terjangkau, dan manusiawi mutlak dilakukan. Bila itu dapat tercapai, mungkin “orang-orang kaya” yang konon terlalu banyak menikmati subsidi BBM itu akhirnya rela meninggalkan mobil mereka di garasi dan berangkat ke kantor dengan busway.


 

[1]Angka ini lebih konservatif dibandingkan perhitungan Walhi yang memprediksi lebih dari 5000 ton Pb diemisikan ke udara setiap tahun.


[2]Konversi dari emisi ke konsentrasi atmosfer didasarkan pada penelitian di Utah, Amerika Serikat. Hasil perhitungan pada penelitian tersebut sesungguhnya tidak dapat langsung diterapkan pada kondisi Indonesia karena banyaknya faktor yang mempengaruhi seperti topografi dan meteorologi.








Untuk Jakarta saja, konsumsi Premium rata-rata diperkirakan sebesar 8500 kiloliter per hari atau atau setara dengan emisi 612 kg Pb/hari. Kontribusi emisi Pb sebesar ini terhadap konsentrasi Pb di atmosfer dapat mencapai 2,01 μg/m3.