Film Independen (Belum) Mati!




||artikel film||

Sosok gondrong itu gundah ketika jalan pikirannya berulang kali dibantah teman diskusinya yang berbicara menggebu-gebu dengan logat Jawa terselip di sana-sini. Akhirnya ia berujar, “Gue cuma pingin bikin film.”

Sepotong adegan itu mungkin tidak sefenomenal adegan Ine Febriyanti mencium anjing di film Beth (2002) atau Dian Satrowardoyo membalikkan badan dengan rambut melambai di Ada Apa dengan Cinta?(2002), tapi spirit tokoh yang diperankan Aksan Sjuman di film Kuldesak (1999) itu ternyata cukup dahsyat. Bermodalkan gue-cuma-pingin-bikin-film itu, dunia sinema Indonesia kini mengenal nama-nama Aria Kusumadewa, Rudi Sudjarwo, Harry Dagoe Suharyadi, Indra Yudhistira, dan beberapa nama lain yang kerap (atau sempat) diacu sebagai sutradara film independen.

Istilah independen dalam dunia sinema bermula dari suatu fenomena ketika beberapa sineas mencoba melepaskan diri dari dominasi studio-studio besar Hollywood. Di Hollywood dikenal the big six, enam studio besar yaitu  Disney, Fox Studio, Universal, Time-Warner, Columbia-Tristar, dan MGM. Di garda depan perlawanan ini adalah Sundance Film Festival yang digelar di Park City, Utah sejak tahun 1991[1]. Festival ini menjadi ajang showcase film-film ber-budget rendah, tanpa bintang bertarif jutaan dolar (kecuali bersedia dibayar kecil), digarap oleh studio kecil yang namanya belum terdengar, Miramax, New-Line, film-film “independen”. Dari festival ini muncul nama-nama seperti Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez.

Di Indonesia, pada tahun 1991 film panjang pertama Garin Nugroho, Cinta Dalam Sepotong Roti, meraih Piala Citra sebagai film terbaik. Setahun kemudian Festival Film Indonesia diselenggarakan untuk terakhir kalinya dan sejak itu dunia sinema Indonesia bisa dibilang mati suri. Produksi film merosot ke angka belasan per tahun, dan hanya satu-dua—bahkan pernah sama sekali tidak ada—film yang layak tonton. Jargon “Jadikan film Indonesia tuan rumah di negeri sendiri” nyaris dibuang ke tempat sampah ketika akhirnya di tahun 1998, film Daun di Atas Bantal berhasil menarik cukup banyak penonton. Beberapa bulan kemudian film Kuldesak dirilis. Film ini merupakan karya gerilya empat sutradara muda, Riri Riza, Mira Lesmana, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani. Film ini dikerjakan oleh kru-kru yang bukan anggota KFT[2], dana diperoleh dari patungan, dan shooting tanpa izin.

Tiba-tiba saja terjadi booming istilah independen. Jika gerakan independen di Amerika berusaha melepaskan diri dari studio besar, gerakan independen ala Kuldesak berusaha melepaskan diri dari jepitan regulasi, minimnya dana, dan diskriminasi bioskop terhadap film Indonesia[3]. Istilah independen ditenteng lagi ketika pada tahun 1999 sekelompok anak muda menggagas Festival Film Video Independen Indonesia, yang menampilkan karya-karya film pendek berdurasi kurang dari 60 menit. Dan kerancuan lengkap sudah ketika SCTV, salah satu stasiun TV swasta terbesar Indonesia, menyelenggarakan Festival Film Independen Indonesia. Festival film pendek ini diikuti ribuan peserta, mulai siswa SMP sampai sutradara yang karyanya pernah meraih penghargaan di luar negeri.

Jika dirunut, istilah independen dalam perfilman Indonesia saat ini mengacu pada tiga elemen: dana, tema film, dan gaya (sinematografi). Tiga elemen ini bisa saling berkaitan, namun dapat juga terlepas satu sama lain.

Independen dalam hal dana mengacu pada budget yang rendah, sering kali berasal dari patungan. Rudi Soedjarwo yang menjulang lewat AADC mengalami ini dalam dua film perdananya, Bintang Jatuh dan Tragedy. Dana juga berimplikasi langsung pada teknologi yang digunakan. Banyak sineas yang memangkas biaya produksi dengan menggunakan format video digital. Namun sayangnya format ini membutuhkan proyektor khusus yang hanya dimiliki bioskop-bioskop tertentu. Untuk menyiasatinya, beberapa produser mengusung filmnya ke komunitas-komunitas film seperti kampus dan kine klub. Minimnya dana juga menyebabkan minimnya promosi. Bioskop Indonesia juga sempat enggan memutar film Indonesia. Salah satu film yang terkena getahnya adalah film Beth. Karena Studio 21 sempat enggan memutar lebih dari satu film Indonesia, pemutaran Beth tertunda beberapa bulan karena di luar dugaan film Jelangkung berhasil menarik banyak penonton.

Banyak sineas baru juga mencoba mengeksplor tema-tema yang sebelumnya tidak disentuh sineas generasi sebelumnya. Indra Yudhistira mengangkat konspirasi internasional dalam Jakarta Project, Harry Dagoe Suharyadi mengangkat soal benturan budaya dalam Pachinko...and Everyone’s Happy, dan Nan Achnas mengangkat tema perempuan dalam Pasir Berbisik. Terdepan dalam tema yang tidak biasa mungkin adalah Aria Kusumadewa (Beth, Novel Tanpa Huruf R).

Gaya mungkin sesuatu yang paling menonjol pada film-film independen. Pengaruh referensi yang beragam terlihat begitu kuat, banyak film yang rajin mengeksplorasi teknik handheld camera ala Tarantino atau editing yang meloncat-loncat ala MTV. Seolah ada kesepakatan tak tertulis, ”Kalo lo independen, gambar lo harus beda.” Terlepas dari yang beda itu kemudian jadi banyak dan kemudian jadi seragam.

Di Amerika, independen telah bergeser dari platform awalnya. Studio-studio kecil yang semula memosisikan diri berhadapan dengan studio besar kini justru menjadi anak perusahaan dari studio besar. Budget jutaan dolar dan bintang-bintang papan atas bukan lagi hal yang tabu. Sundance bahkan telah menjadi kubu tersendiri sehingga muncul festival seperti Slamdance Film Festival dan Ohio Independent Film Festival yang “independen” terhadap Sundance. Meskipun demikian, film independen yang tak terlalu independen lagi tetap menjadi alternatif terhadap film-film blockbuster yang kian lama kian stereotip.

Bagaimana dengan di Indonesia, di mana istilah independen telah salah kaprah sejak awal? Garin Nugroho dalam tulisannya, Sinema Indonesia 2004-2009: Konfigurasi Baru Generasi Pencari Cinta (Kompas, 11 Januari 2004) menyebutkan adanya dua periode sinema pasca-1998, yakni Sinema Indonesia periode lima tahun pertama pascareformasi, 1998-2003, yang bisa disebut sebagai periode Euforia dan Persemaian, serta periode lima tahun kedua 2004-2009, yang bisa disebut sebagai periode Tantangan dan Pertumbuhan. Dalam peta ini, sineas-sineas independen mungkin dapat diposisikan dalam tiga alur.

Jalur pertama adalah ketika independen menjadi satu-satunya jalan untuk membuat film. Ini terjadi pada periode ketika sineas mempunyai akses sangat terbatas terhadap sumber daya. Kuldesak adalah contohnya.

Jalur kedua adalah ketika film Indonesia mulai mendapat tempat lagi di masyarakat, terbukti dengan hadirnya Daun di Atas Bantal dan Petualangan Sherina, muncul beberapa sutradara baru. Mereka adalah jebolan sekolah film luar dan dalam negeri seperti Rudi Soedjarwo dan Indra Yudistira. Mereka sempat membuat film independen dengan modal gerilya, hingga kemudian direkrut untuk menggarap film “tidak independen”. Rudi digaet Miles Production dan Indra digaet Transinema, lalu RCTI. Periode independen bagi keduanya adalah periode latihan atau batu loncatan untuk menggarap film dengan dukungan sumber daya yang lebih serius.

Lepas dari itu, ada jalur ketiga yang ditempati sutradara macam Garin Nugroho yang secara sadar memilih independen terhadap mainstream atau selera pasar. Di kalangan generasi muda, jalur sidestream ini secara konsisten ditekuni Aria Kusumadewa.

Di masa yang akan datang, kita berharap jalur kedua dan ketiga ini akan tetap survive. Sutradara yang menjadikan pembuatan film independen sebagai latihan akan menyuplai SDM yang mumpuni dan tahan uji. Sutradara yang menjadikan independen sebagai pilihan akan memberi warna pada perfilman Indonesia sehingga tidak melulu berorientasi pada mainstream pasar.

 

[1]Festival ini merupakan kelanjutan dari Utah/US Film Festival, sebuah ekshibisi tahunan yang diselenggarakan di Salt Lake City, Utah sejak 1978 dan berfokus pada pemutaran film retrospeksi dan seminar.

[2]Karyawan Film dan Televisi—satu-satunya organisasi yang berhak mengeluarkan lisensi dan berbagai regulasi bagi kru produksi pada masa Orde Baru.

[3]Pada dekade ’90-an, film Amerika dengan distributor utama Kelompok Subentra (Studio 21) merajai bioskop Indonesia. Monopoli ini berperan meminggirkan film Indonesia, salah satu contohnya adalah film Langitku Rumahku karya sutradara Slamet Rahardjo yang hanya diputar selama 1 hari di Studio 21. Kasus ini sempat dibawa ke pengadilan.

Another Footnote:
Tulisan ini dikonsep sekitar bulan Januari 2004, atas "pesanan" teman-teman di Patonton-tonton Film Bandung. Karena pesanannya kemudian dibatalkan, tulisan ini baru selesai beberapa bulan kemudian dan selama beberapa bulan sesudahnya tetap nangkring tidak berguna di komputer gue ;) Terus terang semula ada beberapa data yang gue tulis berdasarkan ingatan (karena gak bisa nemu sumbernya di internet), tapi yang ini sudah diperbaiki dan mudah-mudahan semua valid (termasuk slight difference between analisis dan opini).















Ini film gak penting, tapi posternya lucu :)
Tiba-tiba saja terjadi booming istilah independen. Jika gerakan independen di Amerika berusaha melepaskan diri dari studio besar, gerakan independen ala Kuldesak berusaha melepaskan diri dari jepitan regulasi, minimnya dana, dan diskriminasi bioskop terhadap film Indonesia.